Joedha's Blog

Mempelajari berbagai keunikan kehidupan dan menuangkannya ke dalam lembaran blog ini

Masa Depan Gulita

gelap

Pola pekerjaan yang begitu-begitu saja, gaji yang tak sesuai masa kerja, juga rumah tangga yang tidak menenteramkan hati. Skenario tadirku memang tak pernah sejalan dengan bayangan. Kalau sudah begini, ingin rasanya menjalani hidup ini tanpa aturan. Tanpa siklus omong kosong.

Tak pernah terselip di benak ini tujuan hidupku di masa mendatang. Bahkan untuk hari esok pun aku tak punya rencana apa-apa, selain menjalani rutinitas yang sangat menjemukan.

Ingin menenggelamkan diri di lautan lepas atau menanbrakkan diri di perlintasan kereta api. Segala amarah berkecamuk di dada dan kepala. Amarah yang tak beralasan. Emosi rasanya tak pernah stabil.

Kalau sudah begini, seperti tak ada gunanya hidup dan tak ada manfaatnya bernapas.

 

2 Nov.

Bahtera Neraka

Memang tak semua keinginan harus tercapai dan sesuai dengan harapan.  Bahtera rumah tanggaku memang tak seindah bayangan, juga tak semudah membalik telapak tangan. Tak seperti imajinasiku yang memiliki keluarga yang benar-benar tenteram, mental dan spiritual.

Bersyukur selalu kulafalkan, puja-puji selalu kudengungkan. Tapi takdir tak memberi dukungan. Yang senantiasa tebersit adalah rasa ketidaknyamanan ketika konflik itu datang. Andai jiwaku lelaki seutuhnya, mungkin aku akan menghadapi ini semua sebagaimana mestinya. Menjadi kepala rumah tangga yang punya prinsip kuat sebagai pemimpin keluarga. Dan menyayangi anak-istri tanpa berpura-pura.

Ketika Ego Menutupi Segalanya

ilalang

Situasi rumah tanggaku ternyata masih jauh dari tenang dan kondusif. Begitu pula hubunganku dengan istri. Masing-masing dari kami masih mempertahankan ego. Mungkin ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga dalam lima tahun pertama. Apalagi sepertinya istriku sedang hamil lagi.

Ego itu adalah, istriku ingin kembali tinggal dengan orang tua supaya bisa dibantu mengurus anak dan urusan makan/memasak. Sedangkan egoku adalah ingin membangun rumah tangga ini secara mandiri, meskipun harus menitipkan anak ke mertua, karena aku dan istri sama-sama bekerja.

Beberapa hari lalu, indikasi bahwa kami masih tak sejalan adalah ketika aku mengatakan akan mengembalikan istriku ke orang tuanya. Sontak istriku kaget, panik, nangis, sangat tidak terima akan ucapanku. Itu mungkin ucapan, yang secara sadar-tidak sadar, keluar dari mulutku yang berasal dari hati yang paling dalam.

Apakah aku sudah tak mencintai istriku lagi? Aku tak tahu. Pokoknya, semenjak kami sering berbeda pendapat, dan terjadi konflik batin, aku merasa ada yang salah dengan kehidupan rumah tangga kami. Atau mungkin ini ujian dari Tuhan untuk menguji iman kami? Terutama imanku?

Aku merasa apa yang aku lakukan, yakni berpisah dari orang tua untuk membangun keluarga secara mandiri, selalu salah di mata istri. Padahal aku tidak mengajak dia menuju kemaksiatan. Dia beralasan masih ingin dibantu orang tua, juga agar hemat biaya hidup, daripada uang kami untuk membayar sewa kontrakan.

Konflik ini sebenarnya sudah muncul sejak hari pertama kami mengontrak. Meskipun itu muncul secara perlahan. Terkadang, dia mendukung, ada alasan yang cukup logis mengapa kami harus mandiri. Tapi, di lain waktu, ketika suasana hatinya sedang turun atau tubuhnya sedang lelah, egonya secepat kilat mendominasi dan menyebabkan konflik itu muncul.

Sebentar lagi kami akan pindah kontrakan. Kurang-lebih 2 minggu dari sekarang. Konflik-konflik itu nyaris muncul setiap hari. Aku masih menjaga perasaannya, meskipun dia sering menyulut masalah itu. Aku pun masih menjaga emosi agar tak menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Aku hanya berdoa dan berharap “tidak terjadi sesuatu” dalam rumah tangga kami. Aku juga memohon ampun serta jalan keluar atas masalah yang kami hadapi.

Jika memang istriku adalah rezekiku, aku mohon panjangkan usia jodoh kami, dengan seminimal mungkin konflik yang terjadi. Namun, kalau memang dia bukan jodohku sampai akhir hayat, lindungilah anak kami dan berikan jalan perpisahan yang tidak melukai satu sama lain.

 

Rabu, 12 Oktober 2016

Kronologi

Terlahir sebagai manusia–laki-laki–mengalami masa disunat, kemudian bersekolah, kuliah, menikah, dan punya anak. Siklus itu sudah terjadi padaku dalam hidup ini. Tinggal 1 tahap lagi: mati.

Navigasi Pos