Ibu, izinkan aku membasuh luka ini dengan rembesan keringat dari pori-pori tubuhmu
Hatiku telanjur cedera oleh pecahan masa lalu yang terpisah dan terkucil dari laju-laju usiaku
Kalaupun napasmu tak bisa lagi kusesap,
kupinta doamu sampai perburuanku usai,
juga munajatmu ketika lahadku berhiaskan nisan emas.
****
Empat peluru ini mungkin bisa membebaskanku dari beban dan tekanan jiwa akibat ulah mereka. Tapi setelah itu, tiga embrio akan menelanjangi pikiran sempit keturunanku kelak . Yang tebersit kini adalah bagaimana agar semua tak pernah muncul ke dunia ataupun bereinkarnasi dengan menjalani cerita yang sama.
“Ron, tolong kasih surat ini ke Ibu. Tak perlu ada alasan.”
“Sekarang aku tak tahu lagi apa yang ada di pikiranmu, Dit.”
“Kau akan tahu isi pikiranku setelah Ibu menerima dan membaca surat ini. Ini, kuberi uang untuk ongkos ke desa.”
“Lalu, bagaimana denganmu?”
“Tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Aku tak mau kau tertangkap juga karena aku.”
****
Dodi dan peluru pertama.
Sebuah gedung tua tak berpenghuni di pinggiran kota. Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan pabrik yang kadang memekakkan telinga. Juga kerumunan orang yang berlalu-lalang dengan garis hidup teratur ketika berada di seberang umur.
Mentari saat itu semakin tua oleh senja. Tapi ia tak menolongku ketika insiden itu terjadi. Atau rimbunan pohon yang setia menunggu hujan, lantaran dibuat dahaga sepanjang tahun oleh bejatnya perilaku manusia terhadap alam. Juga terhadapku ketika aku dibiarkan tergantung dengan kepala di bawah, di pohon dekat sekolah.
Ini hanya sepenggal kisah pertama tentang ketertarikanku mengulang saat-saat menjadi korban pertama dari peradaban manusia tak berotak. Aku hanya mengubah sosok korban itu dengan sang pelaku yang kini ada di tanganku.
“Bangsat kau, Dit! Lepasin aku! Polisi bakal dateng buat nangkep kamu! Jangan harap kamu bisa lari!”
“Ya, polisi bakal dateng ke sini. Tapi bukan buat nangkep aku, justru buat bungkus mayat kamu di dalam plastik jenazah,” ujarku, tenang.
Tampak wajah ketakutan Dodi setelah mendengar perkataanku. Matanya melotot, napasnya tak beraturan, juga keringat bercucuran di pori-pori kulitnya.
“Tenang saja. Ini takkan sakit. Bukankah dulu waktu kau menggantungku di pohon kau tak merasakan apa yang aku alami? Kali ini hal itu akan terulang. Tapi mungkin yang tidak akan merasakan sakit sekarang adalah aku,” kataku.
“Dit, jangan Dit, plis aku minta maaf Dit. Aku ngaku salah, Dit… Dit… Diiitttt!”
****
“Seorang pria berusia sekitar 25 tahun ditemukan tewas mengenaskan dalam keadaan tergantung dengan luka tembak di alat vitalnya dan luka gorok di lehernya. Diduga korban dibunuh oleh pelaku yang belum diketahui identitasnya. Sampai saat ini polisi masih menyisir tempat kejadian dan melakukan penyelidikan. Adapun mayat korban telah dimasukkan ke dalam plastik jenazah dan akan dibawa ke rumah sakit setempat. Berdasarkan keterangan para saksi, mereka mengaku tiba-tiba mendengar bunyi seperti ledakan yang kemungkinan suara senjata api yang berasal dari dalam gedung tua ini. Demikian Kabar Terkini TV News, saya Aulia Maya. Sampai jumpa satu jam mendatang.”
****
Ical dan peluru kedua.
Kepakan sayap burung itu selalu membuatku menitikkan tetes-tetes kehidupan 10 tahun silam. Sampai saat ini bahkan aku tak berani memandang sore dalam beranda. Setiap senja datang, amarah itu menyerang. Dan berangsur pergi ketika tangan ini memuaskan hasrat pikiran.
Hal kedua yang ada pada 10 tahun silam adalah tubuhku menggigil di sebuah sungai dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Udara bahkan semakin menusuk tulang ini ketika rintihan dan ratapan mewakili ketidakberdayaanku.
Pukul 00.00, hal itu terulang. Ical terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat dan mata tertutup. Juga tanpa sehelai benang pun.
“ Lepasin gue!!!! Arrggghh!!”
“Halo, Cal. Masih kenal aku?”
“Siapa di situ? Lepasin gue! Toloooong!!!”
“Sssstt… percuma kamu teriak. Cuma Tuhan yang bisa dengar teriakanmu, selain aku.”
“Siapa kamu!”
“Apa kamu ingat, sepuluh tahun lalu, kamu dan Dodi pernah membawaku ke sebuah sungai. Kalian menyiksaku, melepas semua pakaianku, lalu membuangku ke sungai. Apa kamu ingat juga, saat itu aku meraung-raung seperti orang gila. Sedangkan kalian hanya tertawa.”
“Adit? Kamu apa-apaan, Dit? Lepasin, Dit! Kamu udah gila!”
“Ya, sampe sekarang, aku memang masih gila. Itu juga karena kalian.”
Sampai sekarang pun aku masih kecewa dengan cuaca. Udara saat ini tak membantuku menusuk tulang Ical. Dia juga tak tampak kedinginan. Sial!
“Trus mau kamu apa, Dit??”
“Mauku sekarang adalah, masa-masa itu terulang… dan mungkin bisa lebih dari itu. Tapi tenang, aku tak akan sampai menyiksamu.”
“Dit, aku bukan orang kayak gitu lagi sekarang. Aku udah punya istri dan anak.”
“Tenang. Nanti ucapan terakhirmu akan aku sampaikan kepada mereka.”
Pelan-pelan kudekap kepala Ical dari belakang, lantas kudekatkan mulutku ke telinganya.
“Sekarang, ucapkan kata terakhirmu,” bisikku sambil menyentuhkan sebuah pistol di kepala Ical dan membuka sehelai kain yang menutupi matanya.
“Apa maksud kamu, Dit?” Napas Ical mulai terengah-engah ketika tahu bahwa aku menempelkan sebuah pistol di kepalanya. Aku mulai merasakan detak jantung itu berpacu melawan deru mobil-mobil yang melintas di jalan.
“Cepat katakan!” teriakku.
“Kamu nggak bisa lakuin ini, Dit. Tolong aku, Dit. Aku punya anak dan istri,” ujar Ical sambil terisak dan menutup matanya.
“Kalau kamu nggak mau ucapkan, istri dan anakmu yang akan aku bikin kayak gini.”
“Oke… oke…,” ujar Ical, pasrah.
Perlahan aku melepaskan dekapanku dan menjauhkan pistol itu dari kepala Ical.
“Via… Lisa… A…a…yah akan segera pulang. A…yah kangen sama kalian,” ucap Ical, terbata-bata.
“Bagus. Tapi simpan ucapan itu sampai mereka menyusulmu.”
****
“Penemuan mayat kembali terjadi. Kali ini seorang pria yang diperkirakan berusia 26 tahun tewas dalam keadaan mengambang tanpa busana dan terikat di sebuah kursi. Diduga korban dibunuh lantaran di kepalanya terdapat luka tembak. Belum diketahui penyebab dan motif pembunuhan ini. Sampai berita ini diturunkan, polisi masih melakukan olah tempat kejadian perkara. Warga yang berkerumun di lokasi pun tak ada yang tahu persis kapan peristiwa ini terjadi. Selain itu, tak ada saksi yang bisa dimintai keterangan.”
****
Feri dan peluru ketiga.
Persetubuhanku dengan peluru ketiga belum juga usai. Kami masih memiliki janji untuk mencari Feri. Tapi sebuah kabar mengaburkan pikiranku. Feri masih berada dalam perjalanan dari luar negeri. Aku tak akan membiarkan dia mengalami kehidupan setidaknya sampai rembulan mendengkur malam ini.
“Pah, cepat pulang… tolong kami….”
“Ada apa, Mah? Kenapa seperti panik begitu?”
“A… da yang mau bu… nuh kita….”
“Apa?”
Waktu seperti melaju dengan cepat. Ternyata tak sulit memancing Feri untuk bertemu dengan kematiannya. Aku tak perlu larut oleh suasana haru di rumah ini. Seorang wanita dan anak itu sangatlah manis. Terlalu indah buat mereka merasakan penderitaan.
“Tenang saja. Aku tak akan menyakiti kalian. Aku hanya membutuhkan Feri.”
“Ada masalah apa kamu dengan Feri?” ujar wanita yang kuduga istri Feri itu, serak oleh tangisan dan ketakutan, sambil terduduk, merangkul sang buah hati di sudut dalam kamar.
“Hanya masalah internal. Cuma kami berdua yang tahu.”
“Tapi kenapa harus dengan senjata?”
“Bukan urusanmu!!”
Tak berapa lama kemudian, teriakan Feri terdengar dari luar.
“Sayang…, Rena… di mana kalian??”
“Mas… jangan masuk! Dia bawa senjata…!” kata Rena, istri Feri. Langkah Feri pun terhenti tepat di depan pintu.
“Siapa pun kamu, jangan melukai istri dan anak saya,” ujar Feri.
Tiba-tiba di belakang Feri…
“Selamat malam, Feri.”
****
“Seorang pria lagi-lagi ditemukan dalam keadaan tak bernyawa kemarin malam. Polisi segera datang untuk menyisir tempat kejadian perkara. Pria yang tewas di depan rumahnya sendiri itu diduga tewas akibat tertembak. Itu lantaran ada bekas luka tembakan di bagian dada sebelah kiri menembus jantung. Hingga kini, belum diketahui motif pelaku penembakan ini. Polisi menduga, peristiwa beruntun ini dilakukan oleh pelaku yang sama. Sebab, dari tiga korbannya yang tewas, semua meninggal dengan luka tembakan. Dugaan ini juga diperkuat oleh peluru yang diselidiki polisi yang terbukti sama, yang bersarang di tubuh dua korban sebelumnya.”
****
Aku dan peluru keempat.
Ibu tersayang,
Setelah Ibu membaca surat ini, mungkin Adit sudah berada di alam baka. Ini memang keinginanku. Semua pelaku yang telah membuat jiwaku cacat mungkin telah tewas di tanganku sendiri.
Ibu jangan menangis. Ibu hanya perlu berdoa untuk keselamatanku di akhirat. Aku tak ingin menderita lagi seperti yang kualami di dunia. Aku sengaja menamatkan nyawa ini agar keturunanku kelak tak harus merasakan apa yang aku rasakan. Tolong sampaikan kepada Sarah, carilah suami yang lebih baik dariku. Aku tahu dia sengsara karena baru dua hari menjalani pernikahan, kami sudah berpisah. Aku sekadar tahu diri, aku tak ingin dia melahirkan anak seorang pecundang seperti ayahnya.
Terkadang hidup itu lebih indah jika kita menyelesaikan semua cerita yang mengunci keberadaan kita di dunia. Aku bahkan lebih senang jika tak pernah dilahirkan kalau di dunia hanya sebagai pelengkap penderita.
Hidup memang adalah pilihan. Tapi bagiku, pilihan itu tidak hanya dua, tapi tak terhingga. Dan opsi ketigalah yang aku pilih: menamatkan jiwa orang-orang yang pernah membuatku nelangsa dan jiwaku sendiri.
Ibu, aku meminta doamu.
Jakarta, 21 Mei 2010
Pecundang sejatimu
Adit
****
“Pemirsa, lagi-lagi ditemukan seorang pria tewas mengenaskan kemarin malam di sebuah kamar kontrakan dengan luka tembak di mulut dan menembus ke kepala bagian belakang. Diketahui pria tersebut bernama Aditya Pramana berumur 25 tahun. Di sekitar tubuh korban ditemukan senjata api yang diduga selongsong peluru yang digunakan sama dengan peluru yang ditemukan dalam tubuh tiga korban tewas sebelumnya. Polisi juga menduga pria tersebut tewas akibat bunuh diri lantaran saksi yang juga pemilik rumah kontrakan ini sempat mendengar suara tembakan dari dalam kamar korban. Namun, ketika saksi mencoba melihat kejadian sebenarnya, pintu kamar korban terkunci. Ada kemungkinan korban adalah pelaku pembunuhan beruntun yang selama ini dicari.”
Jakarta, 21 Mei 2011