Joedha's Blog

Mempelajari berbagai keunikan kehidupan dan menuangkannya ke dalam lembaran blog ini

Archive for the category “Fiksi”

Teruntuk Adinda – puisi

Juga teruntukmu, Adinda, aku menyemai cinta yang tak bisa diucapkan matahari kepada bulan

Serta kepadamu, Adinda, aku berpeluh darah demi menjaga cinta dari hujan yang membara

Dan karenamu, Adinda, aku mengenal cinta melalui gugus kata yang mewakili hati ini ketika kita beradu rindu

Aku tak ingin hati ini bertutur,

“Aku mencintaimu, karena…”

“Aku mencintaimu, tetapi…”

atau

“Aku mencintaimu, meskipun…”

sebab,

Tuhan tidak menciptakan cinta dengan syarat, dan kebimbangan….

P E L U R U

Ibu, izinkan aku membasuh luka ini dengan rembesan keringat dari pori-pori tubuhmu

Hatiku telanjur cedera oleh pecahan masa lalu yang terpisah dan terkucil dari laju-laju usiaku

Kalaupun napasmu tak bisa lagi kusesap,

kupinta doamu sampai perburuanku usai,

juga munajatmu ketika lahadku berhiaskan nisan emas.

****

Empat peluru ini mungkin bisa membebaskanku dari beban dan tekanan jiwa akibat ulah mereka. Tapi setelah itu, tiga embrio akan menelanjangi pikiran sempit keturunanku kelak . Yang tebersit kini adalah bagaimana agar semua tak pernah muncul ke dunia ataupun bereinkarnasi dengan menjalani cerita yang sama.

“Ron, tolong kasih surat ini ke Ibu. Tak perlu ada alasan.”

“Sekarang aku tak tahu lagi apa yang ada di pikiranmu, Dit.”

“Kau akan tahu isi pikiranku setelah Ibu menerima dan membaca surat ini. Ini, kuberi uang untuk ongkos ke desa.”

“Lalu, bagaimana denganmu?”

“Tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Aku tak mau kau tertangkap juga karena aku.”

****

Dodi dan peluru pertama.

Sebuah gedung tua tak berpenghuni di pinggiran kota. Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan pabrik yang kadang memekakkan telinga. Juga kerumunan orang yang berlalu-lalang dengan garis hidup teratur ketika berada di seberang umur.

Mentari saat itu semakin tua oleh senja. Tapi ia tak menolongku ketika insiden itu terjadi. Atau rimbunan pohon yang setia menunggu hujan, lantaran dibuat dahaga sepanjang tahun oleh bejatnya perilaku manusia terhadap alam. Juga terhadapku ketika aku dibiarkan tergantung dengan kepala di bawah, di pohon dekat sekolah.

Ini hanya sepenggal kisah pertama tentang ketertarikanku mengulang saat-saat menjadi korban pertama dari peradaban manusia tak berotak. Aku hanya mengubah sosok korban itu dengan sang pelaku yang kini ada di tanganku.

“Bangsat kau, Dit! Lepasin aku! Polisi bakal dateng buat nangkep kamu! Jangan harap kamu bisa lari!”

“Ya, polisi bakal dateng ke sini. Tapi bukan buat nangkep aku, justru buat bungkus mayat kamu di dalam plastik jenazah,” ujarku, tenang.

Tampak wajah ketakutan Dodi setelah mendengar perkataanku. Matanya melotot, napasnya tak beraturan, juga keringat bercucuran di pori-pori kulitnya.

“Tenang saja. Ini takkan sakit. Bukankah dulu waktu kau menggantungku di pohon kau tak merasakan apa yang aku alami? Kali ini hal itu akan terulang. Tapi mungkin yang tidak akan merasakan sakit sekarang adalah aku,” kataku.

“Dit, jangan Dit, plis aku minta maaf Dit. Aku ngaku salah, Dit… Dit… Diiitttt!”

****

Seorang pria berusia sekitar 25 tahun ditemukan tewas mengenaskan dalam keadaan tergantung dengan luka tembak di alat vitalnya dan luka gorok di lehernya. Diduga korban dibunuh oleh pelaku yang belum diketahui identitasnya. Sampai saat ini polisi masih menyisir tempat kejadian dan melakukan penyelidikan. Adapun mayat korban telah dimasukkan ke dalam plastik jenazah dan akan dibawa ke rumah sakit setempat. Berdasarkan keterangan para saksi, mereka mengaku tiba-tiba mendengar bunyi seperti ledakan yang kemungkinan suara senjata api yang berasal dari dalam gedung tua ini. Demikian Kabar Terkini TV News, saya Aulia Maya. Sampai jumpa satu jam mendatang.”

****

Ical dan peluru kedua.

Kepakan sayap burung itu selalu membuatku menitikkan tetes-tetes kehidupan 10 tahun silam. Sampai saat ini bahkan aku tak berani memandang sore dalam beranda. Setiap senja datang, amarah itu menyerang. Dan berangsur pergi ketika tangan ini memuaskan hasrat pikiran.

Hal kedua yang ada pada 10 tahun silam adalah tubuhku menggigil di sebuah sungai dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Udara bahkan semakin menusuk tulang ini ketika rintihan dan ratapan mewakili ketidakberdayaanku.

Pukul 00.00, hal itu terulang. Ical terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat dan mata tertutup. Juga tanpa sehelai benang pun.

“ Lepasin gue!!!! Arrggghh!!”

“Halo, Cal. Masih kenal aku?”

“Siapa di situ? Lepasin gue! Toloooong!!!”

“Sssstt… percuma kamu teriak. Cuma Tuhan yang bisa dengar teriakanmu, selain aku.”

“Siapa kamu!”

“Apa kamu ingat, sepuluh tahun lalu, kamu dan Dodi pernah membawaku ke sebuah sungai. Kalian menyiksaku, melepas semua pakaianku, lalu membuangku ke sungai. Apa kamu ingat juga, saat itu aku meraung-raung seperti orang gila. Sedangkan kalian hanya tertawa.”

“Adit? Kamu apa-apaan, Dit? Lepasin, Dit! Kamu udah gila!”

“Ya, sampe sekarang, aku memang masih gila. Itu juga karena kalian.”

Sampai sekarang pun aku masih kecewa dengan cuaca. Udara saat ini tak membantuku menusuk tulang Ical. Dia juga tak tampak kedinginan. Sial!

“Trus mau kamu apa, Dit??”

“Mauku sekarang adalah, masa-masa itu terulang… dan mungkin bisa lebih dari itu. Tapi tenang, aku tak akan sampai menyiksamu.”

“Dit, aku bukan orang kayak gitu lagi sekarang. Aku udah punya istri dan anak.”

“Tenang. Nanti ucapan terakhirmu akan aku sampaikan kepada mereka.”

Pelan-pelan kudekap kepala Ical dari belakang, lantas kudekatkan mulutku ke telinganya.

“Sekarang, ucapkan kata terakhirmu,” bisikku sambil menyentuhkan sebuah pistol di kepala Ical dan membuka sehelai kain yang menutupi matanya.

“Apa maksud kamu, Dit?” Napas Ical mulai terengah-engah ketika tahu bahwa aku menempelkan sebuah pistol di kepalanya. Aku mulai merasakan detak jantung itu berpacu melawan deru mobil-mobil yang melintas di jalan.

“Cepat katakan!” teriakku.

“Kamu nggak bisa lakuin ini, Dit. Tolong aku, Dit. Aku punya anak dan istri,” ujar Ical sambil terisak dan menutup matanya.

“Kalau kamu nggak mau ucapkan, istri dan anakmu yang akan aku bikin kayak gini.”

“Oke… oke…,” ujar Ical, pasrah.

Perlahan aku melepaskan dekapanku dan menjauhkan pistol itu dari kepala Ical.

“Via… Lisa…  A…a…yah akan segera pulang. A…yah kangen sama kalian,” ucap Ical, terbata-bata.

“Bagus. Tapi simpan ucapan itu sampai mereka menyusulmu.”

****

Penemuan mayat kembali terjadi. Kali ini seorang pria yang diperkirakan berusia 26 tahun tewas dalam keadaan mengambang tanpa busana dan terikat di sebuah kursi. Diduga korban dibunuh lantaran di kepalanya terdapat luka tembak. Belum diketahui penyebab dan motif pembunuhan ini. Sampai berita ini diturunkan, polisi masih melakukan olah tempat kejadian perkara. Warga yang berkerumun di lokasi pun tak ada yang tahu persis kapan peristiwa ini terjadi. Selain itu, tak ada saksi yang bisa dimintai keterangan.

****

Feri dan peluru ketiga.

Persetubuhanku dengan peluru ketiga belum juga usai. Kami masih memiliki janji untuk mencari Feri. Tapi sebuah kabar mengaburkan pikiranku. Feri masih berada dalam perjalanan dari luar negeri. Aku tak akan membiarkan dia mengalami kehidupan setidaknya sampai rembulan mendengkur malam ini.

“Pah, cepat pulang… tolong kami….”

“Ada apa, Mah? Kenapa seperti panik begitu?”

“A… da yang mau bu… nuh kita….”

“Apa?”

Waktu seperti melaju dengan cepat. Ternyata tak sulit memancing Feri untuk bertemu dengan kematiannya. Aku tak perlu larut oleh suasana haru di rumah ini. Seorang wanita dan anak itu sangatlah manis. Terlalu indah buat mereka merasakan penderitaan.

“Tenang saja. Aku tak akan menyakiti kalian. Aku hanya membutuhkan Feri.”

“Ada masalah apa kamu dengan Feri?” ujar wanita yang kuduga istri Feri itu, serak oleh tangisan dan ketakutan, sambil terduduk, merangkul sang buah hati di sudut dalam kamar.

“Hanya masalah internal. Cuma kami berdua yang tahu.”

“Tapi kenapa harus dengan senjata?”

“Bukan urusanmu!!”

Tak berapa lama kemudian, teriakan Feri terdengar dari luar.

“Sayang…, Rena… di mana kalian??”

“Mas… jangan masuk! Dia bawa senjata…!” kata Rena, istri Feri. Langkah Feri pun terhenti tepat di depan pintu.

“Siapa pun kamu, jangan melukai istri dan anak saya,” ujar Feri.

Tiba-tiba di belakang Feri…

“Selamat malam, Feri.”

****

Seorang pria lagi-lagi ditemukan dalam keadaan tak bernyawa kemarin malam. Polisi segera datang untuk menyisir tempat kejadian perkara. Pria yang tewas di depan rumahnya sendiri itu diduga tewas akibat tertembak. Itu lantaran ada bekas luka tembakan di bagian dada sebelah kiri menembus jantung. Hingga kini, belum diketahui motif pelaku penembakan ini. Polisi menduga, peristiwa beruntun ini dilakukan oleh pelaku yang sama. Sebab, dari tiga korbannya yang tewas, semua meninggal dengan luka tembakan. Dugaan ini juga diperkuat oleh peluru yang diselidiki polisi yang terbukti sama, yang bersarang di tubuh dua korban sebelumnya.

****

Aku dan peluru keempat.

Ibu tersayang,

Setelah Ibu membaca surat ini, mungkin Adit sudah berada di alam baka. Ini memang keinginanku. Semua pelaku yang telah membuat jiwaku cacat mungkin telah tewas di tanganku sendiri.

Ibu jangan menangis. Ibu hanya perlu berdoa untuk keselamatanku di akhirat. Aku tak ingin menderita lagi seperti yang kualami di dunia. Aku sengaja menamatkan nyawa ini agar keturunanku kelak tak harus merasakan apa yang aku rasakan. Tolong sampaikan kepada Sarah, carilah suami yang lebih baik dariku. Aku tahu dia sengsara karena baru dua hari menjalani pernikahan, kami sudah berpisah. Aku sekadar tahu diri, aku tak ingin dia melahirkan anak seorang pecundang seperti ayahnya.

Terkadang hidup itu lebih indah jika kita menyelesaikan semua cerita yang mengunci keberadaan kita di dunia. Aku bahkan lebih senang jika tak pernah dilahirkan kalau di dunia hanya sebagai pelengkap penderita.

Hidup memang adalah pilihan. Tapi bagiku, pilihan itu tidak hanya dua, tapi tak terhingga. Dan opsi ketigalah yang aku pilih: menamatkan jiwa orang-orang yang pernah membuatku nelangsa dan jiwaku sendiri.

Ibu, aku meminta doamu.

 

Jakarta, 21 Mei 2010

Pecundang sejatimu

 

Adit

****

Pemirsa, lagi-lagi ditemukan seorang pria tewas mengenaskan kemarin malam di sebuah kamar kontrakan dengan luka tembak di mulut dan menembus ke kepala bagian belakang. Diketahui pria tersebut bernama Aditya Pramana berumur 25 tahun. Di sekitar tubuh korban ditemukan senjata api yang diduga selongsong peluru yang digunakan sama dengan peluru yang ditemukan dalam tubuh tiga korban tewas sebelumnya. Polisi juga menduga pria tersebut tewas akibat bunuh diri lantaran saksi yang juga pemilik rumah kontrakan ini sempat mendengar suara tembakan dari dalam kamar korban. Namun, ketika saksi mencoba melihat kejadian sebenarnya, pintu kamar korban terkunci. Ada kemungkinan korban adalah pelaku pembunuhan beruntun yang selama ini dicari.

Jakarta, 21 Mei 2011

Pangeran dan Kereta Kuda

Aliran sungai itu deras. Sangat indah bila aku berada di antaranya. Sekitar 3 jam aku berada di sini. Di atas jembatan ini. Tak satu pun orang yang lalu-lalang melihatku. Seperti sebuah kematian, yang tak pernah menyapa ketika manusia dirundung rasa. Seketika itu pula ia merenggutnya. Juga terhadap binatang-binatang yang tak berumur panjang. Seperti rangkaian temali yang terputus ketika mulai rapuh dan memipih.

Matahari masih terjaga, meski saat itu hari menuju senja. Sekumpulan burung pun tampak beterbangan setelah lelah mengais kisah. Padahal umur mereka tak sepanjang aku. Sedangkan aku di sini, hampir melawan siklus mimpi.

Dua pertiga hidupku adalah masa lalu yang tak berbatas waktu. Yang dalam perjalanannya, aku tak pernah paham akan goresan-goresan tinta kecil Tuhan. Seumur hidup aku tak pernah beranjak untuk menikahi semesta kata. Bahkan terhadap ucapan-ucapan keramat yang, kata orang, dapat menenangkan nurani.

Seorang wanita tua yang saban hari duduk bersimpuh di ujung jembatan ini, kira-kira 7 meter jaraknya denganku, pernah melontarkan kata-kata lewat bisikannya di telingaku, “Sungai yang ada di bawah jembatan ini keramat, tapi juga membawa hoki, asalkan kita tak mengganggunya.”

Benar saja, selama wanita itu menjadi pengemis di sini, banyak yang memberinya uang receh, bahkan sesekali lebih dari itu.

Aku berharap bisa seberuntung wanita itu, meski bukan dalam hal materi. Aku berharap dia datang. Menjemputku dengan kereta kuda. Bersama malaikat yang biasa melindungiku setiap bintang berpendar.

****

Mentari telah terbenam. Tapi mengapa aku tak seantusiastik malam-malam sebelumnya. Ketika dia datang menjemputku dengan iringan lampor. “Apa lantaran dia telat?” batinku bertanya. Andai wanita di ujung jembatan itu bisa memberi jawaban. Tapi tampaknya ia sudah lelah setelah menaruh asa pada segenggam tangannya sepanjang hari ini. Begitu pula burung-burung yang beterbangan itu, yang sudah tak kulihat lagi melayang-layang di kegelapan.

Lima jam sudah aku menunggu. Masih tak ada kabar. Wanita di ujung jembatan itu pun hanya bersandar. Tak segera pulang. Entah ia bersandar sekadar menemani malam atau memasrahkan dirinya untuk bersenggama dengan bulan. Itu pun tak terjawab.

Gaun cantik yang kukenakan ini sengaja kupakai untuk menyambut kedatangan dia. Bukan dengan alasan cinta. Ini tentang keenggananku merayu dia dengan lirik-lirik erotis yang melambungkan berahinya. Aku malas berkata-kata.

Dua hari yang lalu, dia menjemputku dengan kereta kuda itu. Tapi tanpa malaikat, seperti dua malam sebelumnya. Betapa semringah wajahku saat itu. Dia memegang tanganku, menciumi setiap lekuk tubuhku, dan kami pun hampir bercumbu. Tapi hal itu tak terjadi, lantaran aku mencegahnya sekadar menjaga keperawananku. Tapi dia tak menunjukkan amarahnya. Betapa kesabaran membatasi api-api yang tersulut itu.

Dia bahkan mencoba bersenandung–hal yang tak pernah kudengar dari mulut manisnya–dan setiap kata yang diucapkan sering membuatku bergelinjang. “Meski angin bergunjing dan rembulan bergumam, dengan melihat parasmu, semua itu seperti puisi surga yang seakan memberiku taman indah berhamparkan mawar. Izinkan aku tetirah bersamamu ke dunia yang lain yang hanya memberi senyuman, bukan cacian, agar aku bisa memberimu benih dan kita memiliki sejuta cinta tanpa nestapa.”

****

Malam melarut dan awan pun bergelayut. Hari ini Dewi Malam tampaknya tak memberiku restu. Semakin lama ia semakin hilang bersembunyi di balik kumulonimbus. Malam juga tak bisa mengendus kedatangan dia. Aku mulai cemas. Udara seperti memberi tanda akan membekukan kulitku. Juga angin yang berembus semakin cepat, membuatku merapat bersandar di dinding jembatan ini. Sambil terduduk dan membiarkan gaun indah ini ternoda oleh sapuan debu.

“Mengapa dia belum datang?” aku sedikit bergumam, bertanya, juga khawatir. “Apa memang dia tidak datang?”

Seketika itu pula gerimis datang. Gaunku basah. Segera aku beranjak dan membangunkan wanita di ujung jembatan itu.

“Bu, bangun, Bu, hujan, Ibu harus pindah. Nanti Ibu basah kuyup.”

Wanita itu tidak kunjung bangun setelah ku guncangkan tubuhnya. Ku bopong dia ke tempat teduh. Kilat dan petir terus bersahutan. Tak biasanya malamku seperti ini.

“Pangeran, kenapa kau tak kunjung datang. Aku kedinginan. Wanita tua ini juga tak bisa menemaniku. Entah kenapa dia tidak bangun-bangun.”

Hujan semakin deras. Wanita tua itu belum juga bangun. Gaun yang kupakai pun terlihat lusuh dan lepek terkena cipratan air hujan.

****

Suara gemerincing menyentil kedua daun telingaku dari kejauhan. Semakin lama semakin kencang. Semoga firasatku tepat, bahwa sebuah kereta kuda datang membawa sang pangeran.

Ah, betapa senangnya. Dia benar-benar datang. Ternyata perkataan wanita itu benar. Sungai di bawah jembatan itu memang keramat. Tiga kali aku berdiri di situ, tiga kali pula aku dijemput oleh dia. Kereta kuda itu tepat berhenti di hadapanku. Di hadapan senyumku. Dalam keadaan hujan yang menderas.

Senyumku mulai getir dan wajahku berubah pucat tatkala sang hamba mengabarkan bahwa Pangeran urung datang. Di tengah guyuran hujan dan dengan suara tersengal-sengal, aku memutuskan untuk ikut dan melihat keadaan Pangeran. Tapi sang hamba tak mengizinkan aku.

“Ini perintah Pangeran. Tidak usah ikut. Beliau cuma menitipkan pesan agar Putri tak perlu menunggunya. Untuk seterusnya,” sang hamba berucap.

“Apa alasan dia?” kataku.

“Pangeran akan menikah dengan wanita lain.”

Dengan segera kereta kuda itu melesat, jauh hingga tak terlihat oleh pandanganku. Secepat itukah dia berpaling? Aku seperti tak mengenal dia ketika sang hamba mengucapkan alasan-alasan itu. Kenanganku saat bersamanya ketika berada di dalam kereta kuda lenyap begitu saja tanpa pamit, tanpa jejak, bahkan tanpa suara.

****

“Sepertinya sungai itu sudah tidak keramat lagi,” wanita yang tertidur itu tiba-tiba terbangun dan membisikkan kata-kata, “Bangunlah dari mimpimu. Mungkin Pangeran tak ingin bertemu dengan kau, yang sekadar sebuah mimpi bocah miskin ingusan yang terlalu mengada-ada.”

Ibuku Adalah Ayahku

“Kamu yakin mau ketemu Bapakmu?” kata Nenek.

“Aku enggak pernah seyakin ini, Nek. Setelah 20 tahun enggak melihat dia,” kataku.

“Nenek takut, kamu bakal kecewa. Nggak semestinya kamu diperlakukan seperti ini.”

“Apa pun risikonya, siapa pun dia, Bapak adalah bapakku,” kataku.

Setelah yakin melihat aku siap lahir maupun batin, Nenek akhirnya memberikan alamat itu. Ya, alamat tempat aku akan bertemu dengan Bapak, yang sudah 20 tahun tak pernah kuketahui wujudnya. Sampai aku sudah berumah tangga dan memiliki anak.

Kata Nenek, Bapak adalah sosok yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan bapak-bapak pada umumnya. Aku pun tak naik pitam ketika Nenek mengatakan bahwa Bapak dengan tega meninggalkanku sejak aku bayi lantaran tertekan oleh suatu masalah, yang kata Nenek, aku bisa mengetahuinya setelah bertemu dengan Bapak.

Entah apa alasannya, selama ini Nenek selalu merahasiakan keberadaan Bapak, bahkan namanya aku tak tahu. Tapi, setelah Nenek memberikan alamat ini, ia memberi tahu bahwa nama Ayah adalah Mario.

Mungkin kalian bertanya, mengapa aku tak menyinggung soal Ibu. Ya, Ibu pernah merawatku selama lima tahun semenjak aku lahir. Juga sejak Bapak pergi meninggalkan kami. Tapi, sewaktu Ibu pergi, entah ke mana, selama beberapa bulan, setelah aku masuk sekolah taman kanak-kanak, Nenek tiba-tiba mengatakan bahwa Ibu telah meninggal. Nenek pun tak pernah mengajakku untuk sekadar melihat makam Ibu, bahkan melihat jasadnya setelah ia meninggal.

Sejak saat itu, sampai sekarang aku tak pernah bertanya lagi soal Ibu. Fokusku sekarang adalah di mana keberadaan Bapak. Sebagai seorang anak, sebenarnya aku harus marah kala Bapak meninggalkan kami. Seharusnya aku melaporkan dia ke Komnas Perlindungan Anak karena telah menelantarkan aku. Tapi aku tak mau masalah keluarga ini berkepanjangan kalau harus berurusan dengan lembaga itu. Aku ingin berjuang sendiri, meski aku sempat pasrah atas keadaan ini. Beruntung, Nenek, yang telah merawatku sampai sekarang, selalu menyulut semangatku untuk tetap menjalani hidup ini walau tanpa kedua orang tua.

*****

Setelah nyaris seharian aku berkeliling sekadar mencari alamat yang dituju, akhirnya aku merasa semakin dekat dengan keberadaan Bapak. Taksi yang membawaku tepat berhenti di depan sebuah gang sempit berhiaskan gapura, yang tampaknya dipasang saat perayaan 17 Agustus tahun lalu.

Aku mulai menyelusuri gang yang semakin ke dalam, semakin banyak anak kecil berkeliaran bermain dengan sebayanya itu. Satu per satu rumah, yang sepertinya lebih tepat disebut rumah kontrakan, kusambangi, lalu menanyakan alamat yang sedang kutuju kepada penghuninya.

Beruntung, beberapa dari penghuni rumah kontrakan itu tahu dan menjelaskan secara detail letak tempat sesuai dengan alamat yang kupegang.

“Mbak lurus aja dari sini, nanti sebelum mentok, ada belokan ke kiri. Nah, dari situ kayaknya enggak jauh. Tapi kalo Mbak-nya bingung, tanya aja sama warga di situ.”

“Terima kasih, Bu.”

Yang aku heran, semakin lama, jalan di gang ini semakin sempit. Kenapa Bapak betah sekali tinggal di daerah yang jauh dari nyaman seperti ini. Apa karena di sini Bapak tidak dikenal oleh penduduk sekitar? Ah, tidak mungkin. Jika kuperkirakan, setidaknya Bapak sudah tinggal di gang ini lebih dari 10 tahun. Sehingga tidak mungkin warga di sekitar sini tidak mengenalinya.

Sampai di belokan jalan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh ibu tadi, karena tak mau lama tersesat, aku kembali bertanya kepada salah seorang warga.

“Maaf, Pak. Mau tanya, rumah nomor 25 A RT 05 RW 03 di sebelah mana, ya?”
“Oh, itu, yang dekat jembatan. Persis di depan musala,” kata pria paruh baya itu sambil menunjuk ke sebuah rumah.

Sebelum aku mengucapkan kata terima kasih, pria itu tampak mengernyitkan dahi dan mengatakan, “Memang Mbak ada perlu apa sama penghuni di rumah itu?”

“Mau silaturahmi aja, Pak,” kataku, “Bapak kenal sama penghuni rumah itu?”

“Kenal, tapi nggak begitu akrab. Tapi, kayaknya kalo udah jam segini, dia udah siap-siap pergi. Maklum, saya kan ketua RT sini, jadi harus tau siapa aja warga saya,” kata pria itu.

“Oh, kalo begitu saya harus segera ke sana sebelum dia pergi. Terima kasih, ya, Pak.”

Saat itu jam memang sudah menunjukkan pukul 05.45 sore. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa jantung ini mulai berdebar semakin kencang.

****

Saat aku tiba dan mengetuk rumah itu, sesosok wanita dengan tata rias, yang menurutku terlalu berlebihan untuk seorang wanita, muncul. Benakku sempat bertanya, apakah Bapak sudah menikah lagi?

“Cari siapa, ya?” tanya wanita itu.

“Apa benar ini rumah Pak Mario?”

Wanita itu diam sejenak sambil menatap tajam ke arahku.

“Anda siapa?” tanya wanita itu lagi, dengan nada heran.

“Saya Inka, anaknya,” aku menjawab.

Kali ini wanita itu benar-benar bergeming. Kulihat juga sebutir air mata dari sudut kedua bola matanya keluar dan perlahan menghapus eye-shadow yang terpapar di sekeliling kelopak mata itu.

“Inka?”

“Ya, saya Inka. Apa Ibu kenal saya?” tanyaku kepada wanita itu.

Wanita itu lantas menarikku masuk ke rumahnya, lalu menutup pintu.

“Kau benar Inka?” dia bertanya lagi sambil memegang wajahku.

“Iya. Apa saya mengenal Ibu?” tanyaku terheran-heran.

****

Setelah mendengar cerita dia, aku keluar dan berlari dari rumah itu sambil menahan isak tangis dan kebencian yang sangat. Tapi wanita penghuni rumah bapakku itu mengejarku.

“Menjauh dariku!” kataku, berteriak, saat berada di tepi jalan raya, kepada wanita itu.

“Ka, maafkan saya. Semua ini saya lakukan karena terpaksa. Karena sebuah sakit hati terhadap ibumu!” kata wanita itu.

“Jangan bawa-bawa nama Ibu! Ibu sudah meninggal!” kataku, semakin kesal.

“Ibumu belum meninggal. Ibumu adalah saya. Saya yang membesarkanmu setelah kamu lahir, meski cuma selama 5 tahun.”

Sungguh aku tak percaya atas apa yang dikatakan wanita itu.

“Jangan mengada-ada!”

“Ibu kamu menikah lagi beberapa bulan setelah kamu lahir. Dan sejak saat itu, saya dan Nenek yang membesarkan kamu.”

****

Di rumah wanita yang baru saja kukenal itu, wajahku masih digenangi oleh air mata. Perasaanku masih membuncah. Kali ini tak bisa kuhadapi realita ini. Wanita  itu tak lain adalah bapakku. Ya, ibuku, yang kata Nenek telah merawatku, adalah Bapakku, yang selama ini sering kupertanyakan.

Hanya karena sakit hati lantaran Ibu menikah lagi dengan pria lain, Bapak berubah menjadi seorang manusia yang selama ini keberadaannya selalu dikucilkan oleh masyarakat. Dia berubah menjadi seorang waria.

Aku tidak boleh marah atas apa yang telah dialami oleh Bapak. Semua itu manusiawi. Manusia memang punya pilihan dalam hidup. Tidak hanya dua, tapi banyak pilihan yang bisa ia jalani, asalkan ia tidak mengganggu dan meresahkan manusia lainnya.

Tapi, semenjak Bapak bertemu dengan aku dan Nenek, dia berubah menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya. Dia menjadi seorang bapak yang dikodratkan memberi nafkah dan melindungi anaknya.

Mungkin di tempat lain, Ibu mengalami kehidupan sebaliknya. Ya, seharusnya aku sekarang membenci Ibu karena dialah yang membuat hidupku seperti ini. Tapi bagaimana pun, Ibu telah berusaha keras mengeluarkan aku ke dunia ini. Sehingga sepatutnya aku juga harus mencari di mana dia sekarang, meskipun pada akhirnya nanti suasana seperti saat aku bertemu dengan Bapak akan terulang.

Jakarta, 26 April 2010

Navigasi Pos